Ketiga, adab penuntut ilmu bersama kawannya
Boleh saja memiliki kawan, tetapi tidak semuanya dijadikan sebagai kawan spesial. Nabi Muhammad ﷺ telah mengingatkan dalam banyak haditsnya, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِىٌّ
“Janganlah engkau bergaul kecuali dengan seorang mukmin. Janganlah memakan makananmu melainkan orang bertakwa.”([17])
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.”([18])
Nabi Muhammad ﷺ telah menegaskan agar memperhatikan masalah pertemanan dengan baik, seorang penuntut ilmu mesti selektif dalam mencari teman. Jika temannya sering bermasalah maka tidak perlu berteman lagi dengannya. Baik atau tidaknya kawan dilihat dari dampak menjalin pertemanan dengannya, jika berteman dengannya membawa kebaikan akhirat sehingga iman bertambah, kita lebih rajin beribadah, lebih giat menuntut ilmu, maka itu adalah teman yang baik. Sedangkan jika berteman dengannya justru semakin menjerumuskan ke dalam kesibukan duniawi dan kemewahan, menjadi sombong, suka ghibah sana sini maka itu adalah teman yang buruk, tidak perlu dijadikan kawan walaupun tidak juga memusuhinya.
Contohnya jika kita mendapatkan faedah atau pelajaran dari pengajian maka kita bagikan, sebab di antara konsekuensi pertemanan adalah saling bantu dan bahu-membahu. Jangan menyembunyikan ilmu yang didapat.
Dari sini seorang penuntut ilmu wajib waspada terhadap sifat hasad. Karena hasad bisa mengantarkan kepada saling bersaing dengan tidak sehat, tidak ingin memberi manfaat kepada temannya karena khawatir disaingi. Demikian pula di tengah aktivitas dakwah antara pegiat dakwah satu dengan yang lainnya, tidak boleh ada saling hasad, keinginan menjadi paling unggul, merasa paling berjasa dalam dakwah, dan seterusnya.
Cukuplah kisah Imam Bukhari rahimahullah menjadi pelajaran buruknya hasad antara para ulama atau penuntut ilmu. Ketika beliau dimusuhi dan di-tahdzir oleh gurunya, maka majelis Imam Bukhari rahimahullah dijauhi. Yang tadinya majelis Imam Bukhari rahimahullah dipenuhi banyak manusia, namun setelah di-tahdzir para muridnya kemudian menjauhinya. Inilah akibat dari sifat hasad, yang bahkan bisa terjadi antara dua orang teman dekat.
Oleh karena itu, hendaknya setiap penuntut ilmu menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan permasalahan di antara mereka. Selanjutnya juga agar senantiasa memeriksa niat jangan sampai kita hasad dengan kawan yang lain. Di antara hal yang dapat menghilangkan hasad adalah mendatanginya, dengan mengenalnya dan berbincang-bincang dengannya. Karena sering kali hasad itu muncul karena tidak mengenalnya dengan baik.
Oleh Ust. Firanda dalam https://bekalislam.firanda.com/6091-adab-menuntut-ilmu-yang-wajib-anda-tahu.html
Menuntut ilmu merupakan salah satu kewajiban setiap individu yang ingin berkembang dalam kehidupan. Proses ini tidak hanya melibatkan aspek kognitif, tetapi juga memerlukan sikap, niat, dan metode yang tepat agar ilmu yang didapatkan bermanfaat. Artikel ini akan membahas secara mendalam hal-hal yang harus diperhatikan saat menuntut ilmu, berdasarkan perspektif agama, sosial, dan akademis.
Kewajiban Menuntut Ilmu
Tidak sedikit ayat dalam Al Qur’an serta hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang mengutamakan wajibnya belajar. Bahkan dalam kedudukan orang yang sedang menuntut ilmu disamakan dengan orang yang sedang berjihad.
Mengutip dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas X, coba perhatikan dalam wahyu pertama yang telah diturunkan Allah Subhanahu wata’ala kepada Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia juga yang telah menciptakan antara manusia dari segumpal darah. Bacalah, seta Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya,” (Q.S. al-‘Alaq/96:1-5).
Dalam ayat tersebut, ada sejumlah kata yang menguatkan perintah dalam belajar serta menuntut ilmu yaitu ‘Bacalah’, ‘Yang mengajar dengan pena’, serta ‘Mengajarkan apa yang tidak diketahui’. Menuntut ilmu tidak akan dibatasi untuk para laki-laki saja, karena para wanita pun memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu.
Seluruh gender, memiliki hak serta kewajiban karena sama-sama menjadi seorang khalifah maupun wakil Allah di muka bumi, sekaligus juga menjadi seorang hamba yang taat.
Sebagai seorang khalifah, tentu manusia akan membutuhkan ilmu untuk bisa menegakkan syariat Allah Subhanahu wata’ala. Demikian juga untuk sebagai hamba, memerlukan sebuah ilmu yang memadai supaya bisa jadi hamba (‘abid) yang baik serta taat.
Mustahil untuk menjadi khalifah tanpa sebuah ilmu pengetahuan yang cukup untuk bisa mengelola serta merekayasa kehidupan di bumi ini, maka dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Sebagai contoh, untuk shalat saja perlu dalam ilmu mencari kiblat, kemudian mencari waktu yang tepat kapan untuk menjalankan sholat lima waktu, juga ilmu dalam membangun masjid yang benar, serta membangun tempat wudhu yang baik, dan lainnya.
Tak ada sebuah batasan pada tempat serta waktu dalam proses mencari ilmu, bahkan terdapat sebuah ungkapan Arab yang menyebutkan ‘Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina’.
Islam tentunya juga mengajarkan ‘Menuntut ilmu itu dimulai sejak lahir hingga ke liang lahat’, maka belajarlah mulai kecil hingga akhir usia. Jangan merasa malu dalam belajar walaupun sudah berumur.
Kedua, adab penuntut ilmu terhadap dirinya
Seorang penuntut ilmu yang ingin belajar hendaknya ia duduk di hadapan guru, karena belajar sendiri dan berusaha memahami permasalahan secara otodidak sangat memungkinkan untuk terjatuh dalam kesalahpahaman. Berbeda halnya jika dia duduk di hadapan guru yang membimbingnya untuk membahas sebuah kitab atau permasalahan ia akan memahaminya secara jelas dan benar.
Ada saatnya seseorang diperbolehkan belajar secara otodidak yaitu ketika telah memiliki bekal terhadap dasar-dasar ilmu. Tetapi di awal-awal masa belajar hal tersebut tidak boleh dilakukan, pembelajaran harus di bawah bimbingan guru. Abu Hayyan Al-Andalusi bersyair tentang Tuma Al-Hakim,
يَظُنُّ الْغُمْرَ أَنَّ الْكُتْبَ تَهْدِي ** أَخَا فَهْمٍ لإدراكِ الْعُلُومِ
وَمَا يَدْرِي الْجَهُولُ بأنَّ فِيْها ** غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْل الْفَهِيْمِ
إذَا رُمْتَ الْعُلْومَ بِغَيْرِ شَيْخٍ ** ضَلَلْتَ عَنِ الْصِّراطِ الْمُسْتَقِيْمِ
وَتَلْتَبِسُ الأمورُ عَلَيْكَ حَتَّ ** تَكونَ أَضَّلَ مِنْ تُوْمَا الْحَكِيْمِ
“Orang yang tak memiliki pengalaman menyangka bahwa buku-buku itu bisa memberi petunjuk, membersamai kepahaman untuk menyampaikan kepada ilmu. Orang bodoh tak tahu bahwa di dalam buku-buku itu ada kesamaran yang sulit dipahami oleh akal orang pandai. Jika kau menginginkan ilmu tanpa guru, kau pun tersesat dari jalan yang lurus karena perkara-perkara bercampur-aduk atasmu hingga kau pun jadi lebih tersesat dari si Tuma al-Hakim.”([11])
Penyair lain berkata,
قَالَ حِمَارُ الْحَكِيمِ تُوِّمَا ** لَوْ أَنْصَفُونِي لَكُنْت أَرْكَبُ
لِأَنَّنِي جَاهِلٌ بَسِيطٌ ** وَصَاحِبِي جَاهِلٌ مُرَكَّبُ
Suatu hari, keledai Tuma al-Hakim berkata, “Seandainya mereka mau jujur kepadaku, tentulah aku yang semestinya menunggangi si Tuma. Sebab kebodohanku sebatas jahil basith, sedangkan tuanku jahil murakkab.”([12])
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa,
أَنَّ توْما الحَكيمُ حَثَّ النّاسَ عَلَى التَّصَدُّقِ بِبَنَاتِهِمْ لِغَيْرِ المُتَزَوِّجِينَ صَدَقَةً لِلهِ ، مِثْل اَلَّذِي يَتَصَدَّقُ بِالطَّعَامِ لِلْجَائِعِ فَقِيلَ : تَصَدَّق بِالْبَنَاتِ عَلَى البَنِينِ يُرِيدُ بِذَاكَ جَنّاِتْ النَّعيمِ
Tuma al-Hakim itu menyemangati orang-orang untuk menyedekahkan anak-anak perempuan mereka kepada orang-orang yang belum menikah sebagai sedekah karena Allah ﷻ, yaitu sama halnya seperti bersedekah makanan kepada orang yang lapar, lalu dikatakan, “Menyedekahkan anak-anak perempuan kepada lelaki yang belum menikah dengan tujuan mendapatkan surga.”
Maka cara yang terbaik untuk belajar adalah talaki (bertemu) langsung di hadapan guru. Namun harus diperhatikan kepada siapa kita menuntut ilmu, karena tidak boleh menuntut ilmu kepada ahli bidah dan ahli syubhat yang hanya menyebarkan kebid’ahannya dan syubhat.
Jika ilmu dunia saja harus memilah dan memilih kepada siapa harus belajar, maka apalagi ilmu agama berkaitan dengan akhirat kita. Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya Ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah kalian dari siapa kalian mengambil agama kalian.”([13])
Memang benar perkataan yang baik kita ambil yang buruk tidak diambil, tapi perkataan ini hanya berkaitan dengan orang yang bisa memilah mana yang benar dan mana yang salah. Alhamdulillah para Ulama dan Ustaz Ahlusunah telah banyak, hendaknya para penuntut ilmu mencukupkan diri dengan mereka. Jangan sampai dia menjerumuskan dirinya ke dalam bidah dan syubhat karena belajar kepada Ustaz yang berpemahaman menyimpang. Demikian pula kekeliruan sebagian orang yang ketika mencari guru dia mencari ustaz yang lucu, kalau tidak dia tidak mau belajar. Imam Malik rahimahullah berkata,
لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ، وَيُؤْخَذُ مِمَّنْ سِوَى ذَلِكَ: لَا يُؤْخَذُ مِنْ صَاحِبِ هَوًى يَدْعُو النَّاسَ إِلَى هَوَاهُ وَلَا مِنْ سَفِيهٍ مُعْلِنٌ بِالسَّفَهِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَرْوَى النَّاسِ وَلَا مِنْ رَجُلٍ يَكْذِبُ فِي أَحَادِيثِ النَّاسِ، وَإِنْ كُنْتَ لَا تَتَّهِمُهُ أَنْ يَكْذِبَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا مِنْ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَصَلَاحٌ وَعِبَادَةٌ إِذَا كَانَ لَا يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ
“Tidak diambil ilmu dari empat orang, dan diambil (ilmu tersebut) dari selain mereka, (1) Tidak diambil (ilmu) dari pengikut hawa nafsu, yang mengajak manusia untuk mengikuti hawa nafsunya, (2) Dari orang bodoh, yang menampakkan kebodohannya, walaupun dia termasuk orang yang paling banyak riwayatnya, (3) Dari seseorang yang terbiasa berdusta dalam pembicaraan dengan orang lain, meskipun ia tidak tertuduh berdusta atas Rasulullah ﷺ, (4) Dari seseorang yang tidak mengerti apa yang dia bicarakan, meskipun ia memiliki keutamaan dan kesalehan, serta ahli ibadah.”([14])
Oleh karena itu, terkadang kita harus menjelaskan kepada umat terkait keadaan orang yang sok jadi Ustaz padahal bukan ustaz. Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
فَأَمَّا أَهْلُ البِدَعِ وَاَلْضَلالَةِ وَمَن تَشَبَّهَ بِالْعُلَمَاءِ وَلَيْسَ مِنْهُمْ فَيَجُوزُ بَيانُ جَهْلِهِمْ وَإِظْهارُ عُيوبِهِمْ تَحْذِيرًا مِنْ الِاقْتِداءِ بِهِمْ
“Adapun ahli bid’ah dan kesesatan, serta orang-orang berkedok ulama padahal bukan, maka boleh menjelaskan kejahilan mereka dan menampakkan jati diri mereka sebagai peringatan agar (umat tidak) mengikuti mereka.”([15])
Di antara adab terhadap guru adalah sabar dengannya ketika menuntut ilmu darinya. Diriwayatkan mengenai Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,
ابْنُ عَبَّاسٍ كَانَ يَجْلِسُ فِي طَلَبِ العِلْمِ عَلَى بَابِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ “حَتَّى يَسْتَيْقِظَ فَيُقَالُ لَهُ : أَلا نوْقَظَهُ لَكَ ” ؟ فَيَقُولُ : لَا ، وَرُبَّمَا طَالَ مَقامُهُ وَقرعَتْهُ الشَّمْسُ
Ibnu Abbas duduk di depan pintu rumah Zaid bin Tsabit menunggunya bangun. Dikatakan kepada Ibnu Abbas, “Maukah kami bangunkan Zaid bin Tsabit untuk engkau?” Ibnu Abbas berkata, “Jangan.” Terkadang Ibnu Abbas menunggu lama sampai terkena terik matahari.([16])
Inilah salah satu bentuk contoh menghargai ilmu dan menghargai guru yang telah menyampaikan ilmu kepadanya. Oleh karena itu, hendaknya bagi kita untuk memperhatikan kondisi guru kita.
Allah SWT Akan Meninggikan Derajat
Terkait dalam keutamaan sebuah menuntut ilmu satu ini, dalam Alquran sendiri Allah SWT akan berfirman: “Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kalian serta orang-orang yang diberi ilmu sebanyak beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11).
Mengenai tafsiran atau arti dalam ayat ini, Imam Syaukani berkata: “Dan makna ayat ini bahwasanya Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dari orang-orang yang tidak beriman, serta mengangkat beberapa derajat bagi orang-orang yang berilmu (serta beriman) dari orang-orang yang hanya dengan beriman. Maka barang siapa yang menggabungkan antara iman serta ilmu maka Allah akan mengangkatnya beberapa derajat atas imannya, lalu Allah mengangkat derajatnya atas seluruh ilmunya.”
Rekomendasi Buku & Artikel Terkait :
Arti Menuntut Ilmu, Kewajiban, serta Keutamaannya – Ilmu merupakan sebuah kunci akan segala kebaikan serta pengetahuan. Ilmu menjadi sebuah sarana untuk bisa menjalankan apa yang menjadi perintah Allah kepada kita. Tidak akan sempurna akan keimanan serta tak sempurna pula amal kecuali dengan keutamaan sebuah ilmu. Dengan ilmu Allah disembah, dengannya juga hak Allah dijalankan, serta dengan ilmu pula agama-Nya disebarkan.
Hal ini yang sebuah membuat kebutuhan pada sebuah ilmu lebih besar serta dibandingkan kebutuhan pada makanan serta minuman, sebab pada keberlangsungan agama serta dunia bergantung dengan ilmu. Manusia akan lebih memerlukan ilmu daripada sebuah makanan juga minuman. Karena pada makanan dan juga minuman hanya dibutuhkan sebanyak dua hingga tiga kali sehari, sedangkan ilmu terus diperlukan pada setiap waktunya.
Sebagian dari antara kita mungkin bisa menganggap bahwa dalam hukum menuntut ilmu agama hanya sekadar sunnah, yang artinya akan mendapat pahala untuk mereka yang melakukannya serta tidak akan berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya.
Padahal ada terdapat banyak beberapa kondisi di mana dalam hukum menuntut ilmu agama adalah wajib untuk setiap Muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah untuk mereka orang yang meninggalkannya.
Motto hidup Islami pendidikan, ajarkan berbuat kebaikan.
61. "Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang memiliki perilaku terbaik dan karakter terbaik." - Sahih Bukhari
62. "Allah tahu persis apa yang harus diberikan kepadamu untuk membantumu kembali kepada-Nya. Peristiwa dalam hidupmu memiliki tujuan."
63. "Ketika hal-hal baik terjadi, ucapkan Alhamdulillah. Ketika hal-hal buruk terjadi, ucapkan Alhamdulillah. Karena sesungguhnya Allah selalu mengujimu."
64. "Orang yang banyak berbuat baik, banyak pulalah temannya."
65. "Kebaikan itu banyak tetapi pengamalnya (yang melaksanakannya) sedikit."
66. "Teruslah berbuat baik, karena itulah yang akan kembali kepada kita."
67. "Bicaralah hanya ketika kata-katamu lebih indah daripada keheningan."
68. "Berilah kemudahan dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari." - HR. Bukhari dan Muslim
69. "Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya yang lain." - HR. Muslim
70. "Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah, jangan engkau lemah." - HR. Muslim
71. "Realitas sopan santun adalah hasil dari karakter yang indah. Jadi, tata krama adalah manifestasi dari integritas dan kekuatan dalam kepribadian batiniah seseorang menjadi tindakan." - Ibnu Rajab
72. "Jika kamu mengucap syukur, Saya akan memberi kamu lebih banyak." - QS. Ibrahim: 71
73. "Jika hatimu sudah ikhlas maka tidak ada lagi penderitaan yang akan menyakitimu."
74. "Hati yang ikhlas menuntun dunia dan akhirat bergerak membantumu."
75. "Jauhilah dengki, karena dengki memakan amal kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar."
76. "Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala sesuatu yang menggelisahkan perasaanmu dan engkau tidak suka bila dilihat orang lain."
77. "Janganlah engkau memiliki sifat iri hati karena hanya akan membuat jiwamu gelisah."
78. "Selama kamu masih berdiri, ulurkan tanganmu pada orang-orang yang telah jatuh."
79. "Salah satu alasan mengapa Tuhan memberikan kekuatan kepada kita adalah agar kita dapat menolong orang lain."
80. "Lakukanlah kebaikan sekecil apapun karena kamu tidak pernah tahu kebaikan mana yang akan membawamu ke surga."
81. "Ketika kita menolong orang lain, sebenarnya kita sedang menolong diri kita sendiri."
82. "Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa." - QS. Al-Hajj: 40
83. "Dalam hidup ini, jika kamu tak mau membantu sesama, maka kamu bukan benar-benar hidup, kamu hanya bernapas."
84. "Apa yang kita lakukan untuk orang lain, suatu saat pasti akan kembali kepada kita."
85. "Datangnya kematian tidak menunggu hingga kamu akan menjadi lebih baik. Jadilah orang baik dan tunggulah kematian." - Habib Ali Zainal Abidin
86. "Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kau berusaha menangkapnya, ia akan lari. Tapi kalau kau membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu." - Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
87. "Menuntut ilmu adalah taqwa. Menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang-ulang ilmu adalah zikir. Mencari ilmu adalah jihad." - Abu Hamid Al Ghazali
88. "Kenyang itu akan membuat badan jadi berat, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mengajak tidur, dan melemahkan ibadah." - Imam Syafi'i
89. "Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." - QS. Al-A'raf: 56
90. "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Ia akan menjadikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka" - (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
91. "Katakanlah (Muhammad), 'Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu'." - QS. Al-Maidah: 100
92. "Dan barang siapa mengerjakan kebaikan akan kami tambahkan kebaikan baginya." - QS. Asy-Syura: 23
93. "Kita adalah makhluk yang suka menyalahkan dari luar, tidak menyadari bahwa masalah biasanya dari dalam." - Abu Hamid Al Ghazali
94. "Mempelajari dan mengajarkan Alquran itu bagaikan usaha seseorang pengemis yang berkata pada pengemis lain di mana dia bisa mendapatkan makanan." - KH. Ahmad Dahlan
95. "Kenali kebenaran, maka kamu akan tahu orang-orang yang benar. Benar Tidak diukur oleh orang-orangnya, tetapi manusia diukur oleh kebenaran." - Ali bin Abi Thalib
Arti Menuntut Ilmu, Kewajiban, serta Keutamaannya – Ilmu merupakan sebuah kunci akan segala kebaikan serta pengetahuan. Ilmu menjadi sebuah sarana untuk bisa menjalankan apa yang menjadi perintah Allah kepada kita. Tidak akan sempurna akan keimanan serta tak sempurna pula amal kecuali dengan keutamaan sebuah ilmu. Dengan ilmu Allah disembah, dengannya juga hak Allah dijalankan, serta dengan ilmu pula agama-Nya disebarkan.
Hal ini yang sebuah membuat kebutuhan pada sebuah ilmu lebih besar serta dibandingkan kebutuhan pada makanan serta minuman, sebab pada keberlangsungan agama serta dunia bergantung dengan ilmu. Manusia akan lebih memerlukan ilmu daripada sebuah makanan juga minuman. Karena pada makanan dan juga minuman hanya dibutuhkan sebanyak dua hingga tiga kali sehari, sedangkan ilmu terus diperlukan pada setiap waktunya.
Sebagian dari antara kita mungkin bisa menganggap bahwa dalam hukum menuntut ilmu agama hanya sekadar sunnah, yang artinya akan mendapat pahala untuk mereka yang melakukannya serta tidak akan berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya.
Padahal ada terdapat banyak beberapa kondisi di mana dalam hukum menuntut ilmu agama adalah wajib untuk setiap Muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah untuk mereka orang yang meninggalkannya.
Menuntut ilmu merupakan sebuah jalan menuju surga
Surga merupakan hal idaman bagi setiap muslim. Bahkan, ia pun menjadi sebuah janji dari Allah SWT bagi banyak amalan shalih yang banyak dilakukan oleh umat Islam. Sehingga, ketika Allah SWT menjadikan ilmu tersebut sebagai jalan utama menuju jalan surga, maka hal ini menunjukkan akan besarnya keutamaan dalam menuntut ilmu.
Hal tersebut juga sudah mendapatkan landasan syar’i, karena berdasarkan dalam sebuah hadis ketika Rasulullah SAW bersabda: “… Barang siapa yang meniti sebuah jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah juga akan memudahkan baginya untuk jalan menuju surga…” (HR Ahmad).
Pengertian Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu memiliki arti ikhtiar atau sebuah usaha dalam mempelajari sebuah ilmu, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat dengan tujuan agar ilmu tersebut dapat bermanfaat untuk dirinya dan juga untuk orang lain.
Ilmu dunia berfungsi untuk memudahkan dalam hidup di dunia, sedangkan untuk ilmu akhirat sendiri dicari agar manusia dapat memiliki tuntutan serta tidak tersesat dalam sebuah kebatilan. Karena dalam manusia sejatinya tujuan akhirnya yaitu akhirat, serta untuk bisa mendapatkan akhirat tentu perlu harus belajar dalam ilmu agama.
Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya pada kepergianmu pagi hari untuk dapat mempelajari satu ayat dari kitab Allah itu lebih baik untuk mu dari pada kamu Shalat sebanyak seratus rakaat. Dan sesungguhnya dalam kepergianmu pada pagi hari untuk mempelajari satu bab dari sebuah ilmu, baik diamalkan maupun tidak, itu akan lebih baik untukmu daripada shalat seribu rakaat.”
Keutamaan Menuntut Ilmu
Dalam Alquran sendiri, Allah SWT berfirman “Maka ketahuilah atas ilmu allah! Bahwasanya tidak ada AIlah (tuhan yang berhak untuk disembah dengan baik) kecuali Allah serta mohonlah ampunan terhadap seluruh dosa-dosamu …” (QS Muhammad: 19).
Maka dari itu, ada beberapa banyak keutamaan menuntut ilmu bagi semua orang orang yang bersungguh-sungguh saat mengerjakannya. Karena dalam memiliki keutamaan yang amat besar serta mulia, di antaranya keutamaan menuntut ilmu adalah
Hukum dalam Menuntut Ilmu
Ilmu seperti apa yang harus dan wajib dipelajari oleh warga umat Islam? Tentu bukan sebuah ilmu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan dunia serta akhiratnya. Terdapat ilmu yang tidak wajib dipelajari, bahkan hukumnya haram serta berdosa bila dipelajari.
Untuk sebuah ilmu yang bermanfaat, maka dalam mempelajarinya akan memberikan sebuah konsekuensi pahala. Berikut ini beberapa hukum menuntut ilmu-ilmu yang wajib seperti dilansir pada halaman kemdikbud.go.id:
Hukum fardhu kifayah ini berlaku pada ilmu yang perlu ada pada kalangan umat Islam, agar tidak hanya kaum di luar Islam yang dapat menguasai ilmu tersebut. Misalnya seperti ilmu kedokteran, ilmu falaq, perindustrian, ilmu bahasa, ilmu komunikasi, ilmu nuklir, ilmu komputer, serta lainnya.
Hukum ini akan berlaku bila ilmu yang dimaksud dilarang untuk ditinggalkan oleh para umat Islam pada segala situasi serta kondisi. Sebagai contohnya, ilmu agama Islam, ilmu dalam mengenal Allah Subhanahu wata’ala dengan seluruh sifat-Nya, serta ilmu tata cara beribadah, serta yang terkait pada kewajiban sebagai muslim.